Langsung ke konten utama

Yakin Kamu Ngelab Sendirian? - Para Penghuni Lab Part 3

Pernahkan kalian menginap di lab? Atau mengerjakan penelitian sampai larut malam di lab? Tejo (bukan nama sebenarnya) sudah sering melakukannya, baik pulang larut maupun menginap di laboratorium.
Apakah Tejo tidak takut?
Apakah ia tidak pernah mendengarkan cerita-cerita seram yang beredar di lab?
Jawabannya: tentu saja pernah. Tapi ia tidak punya waktu untuk takut. Ia harus segera menyelesaikan penelitiannya. Ia harus segera lulus.

Untuk mengatasi rasa takutnya, Tejo tidak pernah ngelab sendiri. Ia selalu mengajak teman untuk menemaninya sampai larut malam. Tapi malam itu temannya tidak bisa datang, sedangkan pekerjaan penelitiaanya tidak bisa ia tinggalkan.
Mau tidak mau dia harus bekerja sendirian. Meskipun ada rasa takut, tapi ia tetap nekat.

Suasana kampus di menjelang malam sangat sepi. Hanya ada satpam yang berpatroli di sepanjang lorong kampus.  Laboratorium tempat Tejo bekerja berada di ujung barat lantai 3 gedung. Lokasinya sangat jarang dilalui orang. Ruangan lab tersebut dibagi menjadi 4 bagian. Pertama, ruang LAF yang bersebelahan dengan ruang diskusi di bagian barat. Di sebelahnya adalah ruang kerja mahasiswa yang berisi bench kerja dan rak tempat menaruh bahan serta reagen di atasnya. Di sebelah timur ruang kerja terdapat ruang rapat dan ruang kerja laboran. Di depan ruang lerja laboran ini terdapat lorong yang menghubungkan dengan ruang alat.

Hari itu, Tejo akan melakukan PCR.
Meskipun sendirian, Tejo mencoba bersikap tenang. Ia menyalakan lagu dari laptopnya agar suasana tidak terlalu mencekam. Ia meletakkan tasnya di ruang kerja dan berjalan menuju ruang alat. Di ruang alat ini juga terdapat pintu yang menghubungkan lab dengan lorong luar, namun pintu ini jarang digunakan.
Di ruang alat tersebut terdapat beberapa kulkas tempat menyimpan bakteri, berbagai macam bahan atau reagen, maupun DNA hasil isolasi. Selain itu terdapat juga oven, mikrowave, sentrifuge, waterbath, shaker, dan alat-alat lainnya.
Tejo mengambil beberapa tube yang berisi DNA hasil isolasi sebelumnya dari dalam lemari es. Lalu, satu persatu "keusilan" mulai terjadi.

Saat ia berjalan membawa tube effendorf tersebut, ada tube yang terlempar begitu saja dari tempatnya, seolah-olah ada yang menyentilnya. Untung saja tube tertutup rapat sehingga isinya tidak tumpah. Meskipun deg-degan, Tejo tetap melanjutkan pekerjaannya. "Penghuni" lab itu sudah terkenal "aktif", tidak peduli pagi, siang, sore, maupun malam.
Namun hari itu "keusilan"nya sangat intens. Saat Tejo melanjutkan pekerjaannya, ia dilempari dengan tube effendorf kosong yang entah darimana datangnya. Tube-tube kosong itu berjatuhan di sekitar badannya.
Tak ingin berlama-lama di ruangan itu, ia bermaksud melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja mahasiswa. Sesampainya di bench kerjanya, tiba-tiba ia dilempari dengan conicle tube. Perasaannya menjadi tidak karuan. Ia khawatir keusilan itu akan semakin menjadi-jadi.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengurungkan niatnya bekerja malam itu. Tejo menyimpan kembali tube yang berisi DNA di lemari es yang ada di ruang kerja mahasiswa. Ia tidak mau kembali lagi ke ruang alat. Setelah mematikan laptopnya, ia membereskan barang-barangnya dan memasukkannya dalam tas. Dengan sedikit terburu-buru, ia mengecek kembali apakah semua alat sudah dimatikan, mematikan lampu lab, dan mengunci pintu. Saat ia berjalan di lorong depan lab dan bermaksud mengecek pintu ruang alat dari luar, ia melihat ada seseorang yang sedang melakukan sesuatu di kegelapan.
Padahal ia sangat yakin kalau tadi ia sendirian.

Dari luar lab Tejo melihat, sesosok perempuan berdiri di depan bench di ruang alat. Ia memakai jas lab berwarna putih. Rambutnya panjang tergerai. Wanita itu entah sedang melakukan apa, namun ia berdiri membelakangi Tejo dalam ruangan nyaris tanpa cahaya (hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui jendela lab dari gedung di seberang). Tiba-tiba tenggorokan Tejo terasa tercekat. Mukanya berubah pucat seketika dan tangannya berkeringat dingin. Kakinya gemetaran. Ia memaksakan kakinya untuk melangkah pergi. Berusaha tetap tersadar dan memaksa tubuhnya bergerak meninggalkan tempat itu. Tejo mulai berlari menuruni tangga. Aroma kembang melati menusuk hidungnya. Dengan terengah-engah ia sampai di parkiran motornya yang berada di lantai 1. Satpam yang berjaga di situ bertanya keheranan kenapa ia berlari seperti itu.
Tejo hanya berkata, "Ono wong wedok ngambang..ora ono sikile.." (Tejo lalu pingsan).

- END -

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Because result never betray the process - akhirnya emak lulus cumlaude!

Finally ..emak ndeso ini punya blog jugak! 😂😂 Tulisan pertama, pengennya cerita perjalanan momi (yang sok-sok'an) menggapai cita-cita..haha Semoga enggak bosan bacanya, syukur-syukur bisa menginspirasi yang sekedar numpang baca 😘😘 Akhirnya transkrip nilai ini sampai di tangan. Sudah lengkap sama nilai tesis. Setelah perjuangan selama 2 tahun, rasanya campur aduk! Terharu banget akhirnya cita-cita lulus s2 bisa tercapai. Waktu pertama kali mengungkapkan keinginan buat kuliah s2, hanya suami, papa mama, dan kakak-kakak yang mendukung. Yang lainnya, memandang sebelah mata. Tidak sedikit yang nyinyir, banyak juga yang nyindir "ibu rumah tangga buat apa kuliah tinggi2". Tapi kayak bola bekel, semakin ditekan maka ia akan melambung semakin tinggi. Semakin diremehkan, maka rasanya semakin berambisi. Waktu itu suami yang menguatkan , meyakinkan bahwa momi bisa, akhirnya tutup telinga dari suara2 yang cuma bikin pening kepala. Suami juga yang nganter war

Gerimis di Bulan Desember ☔☔☔ - short story

Yogyakarta Desember 2008 "Sudah berapa lama?", tanya Laras. "Enam tahun", jawab Banyu. Mereka berdua terdiam. Tak berani menatap satu sama lain. "Kenapa kamu tidak pernah bilang?" "Karena kamu tidak pernah sendiri." Laras menatap langit sore itu. Gerimis membuat suasana hatinya semakin sendu. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri. Mengingat pertemuannya dengan Banyu siang tadi. Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Banyu adalah cinta pertamanya, tapi ia hanya berani menatapnya dari jauh. Karena baginya, Banyu terlalu tinggi untuk diraih, terlalu jauh untuk ia sapa. Demikian pula bagi Banyu, Laras bukan seseorang yang mudah ia lupakan. Entah cinta pertama atau bukan, tapi ia selalu menanti. Menanti kesempatan itu datang padanya. Disaat Laras tidak berdua. Karena bagi keduanya, seakan-akan waktu sedang mempermainkan mereka. Laras menghela nafas. Ia membalikkan badannya dan menatap Banyu, "Itu karena terlalu mustahil rasanya jika kamu meny

Aileen's Story (Part 1): Awal Mula

Cerita Aileen berawal dari meninggalnya eyang buyut (yangyut) kakung Aileen (dari garis ayah) tahun 2015. Momi lagi hamil Keenan. Waktu itu Aileen belum genap 2 tahun, tapi dia sudah lancar bercerita. Sewaktu di rumah duka, Aileen sempat bilang sama momi "Ma, itu kenapa yangyut ada dua? Yang satu tidur (di peti), yang satu lagi duduk di (teras) depan". Momi awalnya gak terlalu mikirin, mungkin anak ini cuma ngayal. Sepulang dari rumah duka, malamnya Aileen tidur sama Kakung. Tapi semalaman dia gak mau tidur, malah main terus sambil ngoceh (cerita sendiri) sampai dini hari. Lalu dia mulai rewel, mungkin karena udah ngantuk banget, sambil nangis dia bilang "Udah to kak, aku mau bobok". Gak tau siapa yang dia panggil kakak. Aileen digendong kakungnya pake selendang. Kakung bilang "Udah bobok sekarang, sambil kakung gendong, kamu merem." Aileen merem, tapi masih sambil nangis dia bilang ke kakung "Itu kakak...nakal..tarik-tarik kakiku terus..a